My favorite football team

This is Andri Wijaya on the line.

This is default featured slide 2 title

This is Andri Wijaya on the line.

This is default featured slide 3 title

This is Andri Wijaya on the line.

This is default featured slide 4 title

This is Andri Wijaya on the line.

This is default featured slide 5 title

This is Andri Wijaya on the line.

Sunday, November 10, 2013

Diponegoro

DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

SENJA DI PELABUHAN KECIL 
buat: Sri Ajati 
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Karya : Chairil Anwar

Sebelum Habis Masa

SEBELUM HABIS MASA
Karya Faddilatusolikah

Kabut hitam tebal berfose di angkasa sang pencipta.Udara dingin merasuk menembus pori-pori kulit keriput yang menyimpan seribu sejarah.Gubuk sederhana menjadi saksi bisu sandiwara kehidupan.Yang terkadang ada tawa bahagia dan terkadang ada duka nestapa.
“Kreeeeek,,,,pagi yang mendung,semoga semangat kita tak akan pernah mendung”Harap seorang janda tua dibalik bilik.
“Ya mak,,,,semoga hari ini menjadi lebih baik dari hari-hari yang sebelumnya”Sahut seorang gadis remaja yang tengah asyik menata kue dagangannya.Ya sebut saja tanti.Tanti adalah seorang gadis remaja yang pantang menyerah.Meski dia hanya tinggal bersama ibu dan adiknya yang bernama tio.Tanti sudah merasa bersyukur dan bahagia.Setidaknya ia merasa bahagia masih mempunyai keluarga dan tempat tinggal.Meski tak semewah hotel berbintang tapi tanti selalu menanamkan “Baiti Jannati”seperti yang diajarkan oleh baginda nabi SAW.
***

Sebelum Habis Masa
“Tanti,..”dengan gugup tanti melangkah ke depan kelas.Jantungya berdebar hebat bagaikan pacuan kuda.”Selamat ya!!! Terus semangat dan terus tingkatkan prestasimu” ucap bu Diana guru fisika tanti.Tanti mengulumkan senyum.”Trimakasih ya ALLOH ,,, semoga hamba bisa menjadi lebih baik lagi” gumam tanti dalam hati.
Tanti memang bukan berasal dari keluarga yang berada.Tapi niat yang terpatri dalam benaknya begitu kuat.Tinggal menghitung bulan lagi tanti akan menghadapi Ujian akhir nasional.Beban berat yang kini di pikulnya.Bukan masalah mata pelajaran yang diujikan tapi masalah biaya ujian.Tentu saja bukan biaya ujian tanti karena tanti telah mendapatkan beasiswa dari sekolahnya.Tapi tio adik tanti yang sekarang duduk dikelas 3 smp tak seberuntung tanti.Tio memang bukan anak yang malas.Tapi kemampuannya dalam mengingat materi pelajaran memang tak sepeka ingatan tanti.
***

Sore itu hujan begitu lebat.Atap rumah tanti yang bocor seakan telah mengizinkan air hujan menerobosnya.
“Huk…huk….huk…huk.huk..bruuuuuaaaaaak”tubuh kurus itu tergeletak lemas di atas lantai.
“Maaaaaaak…mak kenapa mak….hikz..hikz..hikz”teriakkan histeris tanti dan adiknya beradu dengan suara Guntur hujan.
“Tolooooooooooong….mak sabar mak…”digoyang-goyangkannya tubuh emaknya.
“Maaak,,,,mak kenapa mak???”Tio tak mau tinggal diam.Dia segera berlari keluar mencari bantuan.Meski tanti melarangnya karena hujan yang masih lebat tapi tio tetap melangkah dan tak menghiraukan tanti.
“Nduuk,,manusia itu tidak ada yang kekal.Semua yang bernyawa pasti akan mati.Ma’afkan semua salah emak jika untuk esok dan seterusnya emak tidak bisa menemanimu.Jadilah ibu dan bapak bagi adikmu.Emak tau ini akan menjadi beban beratmu.Ma-ma-ma’aff kan e-e-emak nduk,,LA-I-LA-HA-ILLALLAAAH MU-HAM-MADUR-ROSULULLAAH”Perlahan kelopak mata emak mengatup.
“EEEMMAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaak………………….ya Alloooh..emaaak….in-nalillahii ,,hikz-hikz-hikz,,wa-innaillaihi roji’un…”tanti memeluk tubuh emaknya erat-erat.Berharap ini semua hanya mimpi buruk baginya.Dilihatnya diluar rumah adiknya berlari munuju rumah mereka.
“Mbak tanti……. A yo kita bawa emak kerum ah sakit,aku sudah minta tolong P.Ahmad”Ucap tio terengah-engah.
“Tidak perlu tio.Emak sudah berpulang kepangkuanNYA,” hati tio tersentak mendengar bahwa emaknya telah meninggal.Tubuh tio menggigil.diselonjorkannya kakinya dilantai.”Innalillahi wainnailaihi raji’un……”
***

Selang beberapa bulan setelah kematian ibunya , tanti terus berusaha memendam mimipinya untuk dapat melanjutkan menimba ilmu ke perguruan tinggi.Dan pagi itu dia mendengar kabar bahagia namun menyesakkan hatinya.
“Duuuooor,,,nglamun ya kak ,,”getak tio mengagetkan tanti.
“ihhh,,,kamu ini yo ,,kebiasa’an dech,,”
“Ada apa sih kak ? cerita doonk …jangan anggap tio kaya orang laen ..”
“ehmmm,,,gini yo,,,kakak kan ikut snmptn di UI dan hari ini pengumumanya , dan,,,”tanti diam sejenak.”kakak diterima menjadi mahasiswi UI yo,,”tanti tertunduk menahan tangis.
“trus kenapa kakak sedih ? harusnya kan kakak bahagia”
“tapi kalau kakak kuliah beban hidup kita pasti bertambah,dan tio kan juga masih SMA”
“Kak (tio menatap kakaknya tajam) ,Kak sa’at pemakaman ibu tio telah berjanji didepan makam ibu kalau tio akan berusaha memberikan yang terbaik.masalah biaya dan kebutuhan hidup tio yang akan menanggungnya.”
“tapikan kakak ini yang lebih punya tanggung jawab tio…”
“kak,,tio ini anak laki-laki dan didunia ini wanita kedua yg paling tio sayang setelah ibu adalah kakak…tio akan bekerja keras untuk biaya kakak kuliah dan untuk biaya tio sekolah.kakak tenang saja tio tidak akan putus sekolah.karena kakak adalah semangat terbesar untuk tio”
Tanti hanya diam.Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir.Bukan air mata kepedihan,namun air mata bahagia.Tanti bersyukur memiliki seorang adik yang begitu menyayanginya.Ia peluk adiknya “tio,,,biar bagaimanapun tio gak boleh kerja keras sendirian.sekarang kita hanya berdua.jadi susah senang harus ditanggung bersama.tio kerja keras,kakakpun akan kerja keras.kita berjuang bersama yo”
Tio tersenyum dan berbisik “sebelum habis masa aku akan selalu menjaga kakak dan melakukan yang terbaik untuk kakak..”

…….THE END……

PROFIL PENULIS
Nama:faddilatusolikah
Mahasiswi uin maliki malang
Hobi : membaca dan menulis cerpen atau puisi
Alamat : Jln sunan Bonang 188 Kromengan malang
Alamat Fb : Fadilatus sholikhah

Doa Mali

Karya Intan Ekaverta

Langit sore tampak mendung. Awan-awan yang menggumpal gelap berjalan pelan diantara angin. Pepohonan pun tak hendak kalah, biar tak kuasa berpindah namun dedaunannya melambai terjang, seolah sekuat tenaga mengejar jalannya awan. Burung-burubg yang biasanya kerap menghiasi cerah langit sore pun kini tak satupun tampak, entah kemana bersembunyi.

Tik... kurasakan ada yang menetes dipipiku. Aku menengadah, tampaknya gumpalan awan mulai tak sanggup menahan beban. Walau hanya setetes yang jatuh, kupercepat langkahku memasuki salah satu gang di perumahan. Jangan sampai tetes-tetes lain yang akan menyusul membasahi jilbab putih dan seragam putih abu-abuku yang harus kembali dipakai esok hari.

Semakin mendekati rumah, semakin ramai tetes-tetes hujan turun ke bumi. Dua rumah lagi adalah rumahku, sedikit lagi, sabarlah hujan. Aku bergegas. Namun hidungku bergidik seketika. Ada bebauan yang mampir, menggelitik tiap dinding hidung dan trakeaku. Saat itu pula mataku menangkap seorang pria dengan topi cowboy, celana sebetis, dan baju kaos orange yang khas. Aku mengerinyitkan dahi, orang itu, kenapa sore-sore ada di depan rumahku? Bukankah biasanya dia bekerja dipagi hari dan selesai sebelum matahari menjilat sedap di siang bolong.

Doa Mali
Benar saja aku mengenalnya. Ia adalah salah satu orang eksis di perumahan ini. Bagaimana tidak, setiap hari dengan gerobak usangnya ia mengangkut sampah dari rumah-rumah untuk dibawa ke ujung jalan besar yang kemudian akan diangkut truk sampah. Konon kata para tetua disini, profesi ini telah digandrunginya sejak usianya masih belasan tahun, itulah sebabnya warga terbiasa memanggilnya tanpa sebutan Bapak walau sekarang ia bukan lagi seorang remaja. Tantunya dari wajah kotor dan hitamnya dapat diprediksi bahwa ia kini sudah kepala empat.

Ya, dia Mali. Mali, dengan nama itulah orang-orang perumahan mengenalnya.
Dengan menahan bebauan, kumasuki rumah tanpa sedikitpun terinspirasi untuk berbasa-basi menyapa Mali. Sementara itu hidungku yang bertanya-tanya tentang bebauan mendapatkan jawabnya. Bau itu berasal dari gerobak Mali yang tepat terparkir di depan pagar sepinggang di depan rumahku yang jauhnya hanya semeter dari pintu utama.
Hujan mulai turun. Awalnya hanya gerimis, lalu perlahan semakin deras, dan semakin deras.
***

Petir berseling-seling menyambar sementara angin bertiup semakin dingin. Rintik hujan diluar mulai lebat, mendendang di genting rumahku. Aku baru saja selesai mandi dan berganti pakaian ketika kulihat di meja makan ibu sedang menuangkan mie instan yang telah matang ke piring. Ini dia momen yang paling kutunggu setiap hujan lebat tiba. Sudah jadi kebiasaan aku dan ibu menikmati mi kuah hangat sembari membuka pintu ruang tamu lebar-lebar dan memandangi hujan sore diselanya. Terkadang menyakitkan juga mengingat hal-hal seperti ini hanya dapat kulakukan berdua dengan ibu. Namun apa boleh dikata, ayah telah dipanggil sejak dua tahun lalu.
Dengan semangat, kuambil baki dan kuletakkan dua piring mie di atasnya. Lalu kulangkahkan kakiku riang ke ruang tamu. Sementara ibu membawa dua gelas susu hangat ditangan kiri dan kanannya mengikuti langkahku ke ruang tamu.

Tapi, sesuatu menghentikan langkahku begitu membuka tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang belakang rumah mungilku. Hidungku kembali mendapat sinyal buruk, seketika aku teringat akan Mali, mungkinkah ia dan gerobak sampahnya yang bau masih bertandang di depan rumahku? Kuletakkan baki di atas boofet dan kubuka tirai sambil mengintip keluar. Dan benar, Mali masih disana, dengan sekuat tenaga menahan gerobak sampah dipinggul kanan yang dimiringkan sementara tangannya memutar-mutar roda gerobak yang rusak

Aku memelas, ternyata gerobak Mali rusak dan sepertinya ia butuh waktu lama untuk memperbaiki gerobaknya. Sementara itu, baunya akan tetap masuk ke ruang tamuku yang artinya, aku dan ibu tidak bisa menikmati mie bersamaan dengan menikmati hujan. Ibu hanya tersenyum seakan-akan menyurhku bersabar dan menyuruhku membawa baki kembali ke meja makan di belakang. Kami tetap menghabiskannya dengan ceria.
***

Azan maghrib berkumandang. Biasanya aku dan ibu akan berangkat ke mesjid yang tidak jauh dari rumah. Tapi hujan turun mulai lebat sehingga kami putuskan untuk sholat berjamaah di rumah saja. Seusai sholat, aku membaca satu halaman ayat suci al-Qur’an. Setelah itu kuambil buku-bukuku dan membawanya ke ruang tamu. Ya, disanalah aku terbiasa menyelesaikan tugas-tugas sekolahku karena cahaya lampu di ruang tamu adalah yang paling terang di rumah mungil ini. Dan yang menjadi favoritku adalah sofa dan meja tamu, membuatku merasa lebih santai saat belajar.

Namun, lagi-lagi, begitu aku melangkah ke ruang tamu, lagi-lagi pula hidungku mendapatkan sinyal buruk. Pasti Mali. Aku beringsut kesal, menghentak ke belakang dan mengadukannya pada ibu. Ibu segera memasang jilbabnya dan membuka pintu depan, memeriksa mengapa Mali tak jua beranjak dari depan rumah. Aku mengikuti ibu dan mengintai dari pintu. Dalam hati, berharap ibu mengusir Mali pergi dari depan rumah kami. Tapi tak mungkin ibu melakukan hal semacam itu. Toh buktinya ibu masih saja berbicara dengan lantunan suaranya yang lembut saat bertanya pada Mali.
“Ini Bu, jari-jari rodanya hancur, maklum sudah lama. Tadi Pak RT sudah belikan yang baru tapi roda yang lama keras sekali, ngga bisa lepas. Jdi belum bisa diganti.” Jawab Mali nyengir.
“Lepasnya jangan pakai tangan aja. Pakai obeng atau apa gitu.” Saran ibu.
“Udah dicoba Bu, tapi ngga mutar. Karatan soalnya.”
“Ngga dibawa ke bengkel aja?”
“Berat loh Bu. Lagian tadi pas magrib saya periksa bengkelnya sudah tutup.”
Ibu cukup lama bercakap-cakap dengan Mali hingga akhirnya ibu masuk rumah dan menyarankan kepadaku untuk belajar di kamar. Dengan sedikit kecewa aku memasuki kamar dan menggunakan meja belajar yang sebelumnya nyaris tak pernah kugunakan selain untuk meletakkan barang-barang. Dalam hati aku menggerutu, mengapa Mali harus memperbaiki roda gerobaknya di depan rumahku. Sementara itu, hujan semakin deras dan semakin deras.
***

“Nadia, bangun, Nak. Sebentar lagi subuh.” Kurasakan ibu membelai kepalaku lembut. Aku berusaha bangun walau kurasakan mataku begitu berat.
“Udah mau ke mesjid, Bu?” tanyaku sambil mengucek mata.
“Masih hujan, Nak. Kita solat subuh jamaah di rumah aja deh sepertinya.” Jawab ibu.
Kupasang kuat telingaku, memang, masih terdengar suara hujan menggelitik atap rumah walau tak sederas tadi malam. Lama sekali hujan mengguyur bumi. Tapi, itulah rahmat yang diturunkan Allah yang patut disyukuri.

Azan subuh berkumandang, aku dan ibu segera sholat berjamaah. Entah mengapa, setelah salam kedua, aku tiba-tiba teringat Mali. Belum lagi lepas mukenahku seusai sholat, aku beranjak ke ruang tamu, hidungku lagi-lagi mendapatkan sinyal. Kubuka sedikit tirai, dan kulihat ke luar. Rintik hujan masih turun dan gerobak Mali masih disana. Kukerinyitkan dahiku sekuat-kuatnya. Sadarkah Mali bahwa bebauan dari gerobak sampahnya itu bau? Atau hidungnya sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang bau dan mana yang wangi.

Ibu tiba-tiba datang, menepuk bahuku dan ikut mengintip keluar. Namun, benar-benar aneh, bukan umpatan yang keluar dari mulut ibu, sebagaimana yang kuucap berkali-kali dalam hatiku akan tukang sampah itu. Melainkan, “Subhanallah...”
Aku menganga heran, “Kenapa, Bu?”
Ibu mengangkat telunjuknya, menunjuk ke satu arah yang berlawanan dengan letak gerobak Mali. Aku mengikuti arahnya dan dengan mata kepalaku kulihat Mali sedang bersujud khusyu menghadapkan dirinya ke arah kiblat di aspal yang basah, dibawah deras hujan yang turun semalaman.

Hatiku seketika mengerucut. Ada hal yang tiba-tiba mengganjal kuat, membekaskan perasaan sesal, salut, dan simpati. Pantaskah semalam aku kesal pada Mali karena bebauan yang ditimbulkan gerobaknya? Bukan salahnya jika gerobak itu sudah reot, toh dia tidak mungkin punya uang untuk membeli yang baru. Lagipula, sebenarnya gerobak itu bukan hanya menjadi tanggung jawab Mali seorang, tapi tanggung jawab semua warga yang sampah di rumahnya dibantu dibuangkan oleh Mali. Namun selama ini, hanya Pak RT yang rutin memperhatikan keadaan Mali. Warga lain tampak acuh, hanya menikmati keringat Mali tanpa mau tahu apa saja yang dialaminya.

Aku terus memandang Mali, memandang gerakan-gerakan sholatnya yang tenang. Tangannya mulai ditengadahkan ke atas, begitu juga kepalanya tampak memandang gemuruh langit. Setelah itu ia beranjak dan kembali ke gerobaknya. Tampaknya roda lama telah berhasil dilepaskan dan ia mulai memasang roda baru. Pastilah perjuangannya semalaman begitu berat, menahan dingin dan hujan sementara ia harus mengerahkan seluruh energinya.
***

Seragamku talah terpakai rapi. Perutku pun telah hangat oleh segelas susu. Aku mengambil sepatu, memakainya dan melangkah keluar. Hujan telah reda, mentari pagi pun bersinar cerah. Di ujung langit tampak pelangi menggantung indah.
“Pergi sekolah, Neng?” suara parau terdengar menyapa.
Aku menoleh, melihat Mali tersenyum padaku. Seketika aku balas senyum dan menjawab, “Iya.”
Tampaknya Mali telah sukses mengganti roda gerobaknya.
“Kelas berapa, Neng? “ tanya Mali lagi.
“Masih kelas satu SMA.” Jawabku.
“Wah, beruntung Neng bisa sekolah. Rajin-rajin belajar, atuh. Kalau boleh tahu cita-citanya apa Neng?”
Aku sedikit risih, namun mengingat kejadian subuh tadi aku tetap menjawab dengan ramah, “Pengen jadi dokter, sih.” Dalam hati kutambahkan, kalau nantinya ibu punya uang cukup.
“Wah, bagus itu, Neng. Saya doakan cita-citanya tercapai ya, Neng. Kalau jadi mahasiswa kedokteran nanti jangan sombong sama saya.”
Aku tertawa kecil, dibuat-buat, sekedar basa basi, dan segera pamit pergi sebelum Mali menemukan pertanyaan baru yang dapat menahanku melangkah ke sekolah.
***

Itu terakhir kalinya. Ya, terakhir kalinya aku melihat Mali. Sejak pagi itu, Mali tidak pernah kembali untuk membereskan sampah lagi. Beberapa hari sampah di depan tiap pagar rumah menumpuk, menyebar bau tak sedap di sela-sela peruamahan. Warga hanya dapat mengumpat, menggunjing, atau ada juga yang berinisiatif melapor pada Pak RT. Sementara Mali tak kunjung tiba.
Entah kemana ia, sementara satupun warga tidak ada yang tahu tempat tinggalnya dimana. Hingga setelah dua minggu berlalu, Mali digantikan oleh orang lain. Tukang sampah yang baru, seorang wanita yang selalu mengumpat tiap bekerja.
***

Aku kembali membolak-balik buku Sobotta yang kupinjam dari perpustakaan sebelum memasuki ruang anatomi, tempat kadaver-kadaver terlelap menantikan siapa saja yang hendak mempelajari tubuhnya. Jas putih panjang untuk memasuki laboratorium berlambangkan Fakultas Kedokteran telah terpasang rapi ditubuhku.
“Nadia, ayo masuk.” Ajak Dila, teman sejawatku.
Aku berdiri, memasukkan Sobotta ke dalam tas dan kuraih handscone dari kantong jas laboratorium, lalu kulangkahkan kakiku memasuki ruang anatomi. Bau formalin seketika menyergap masuk ke hidungku. Ini yang kedua kalinya aku memasuki ruangan ini, setelah minggu lalu mengamati jantung yang telah dipisahkan dari tubuh empunyanya, entah milih siapa. Kali ini kami akan mempelajari susunan pembuluh darah. Karena itu, perlu mayat yang masih utuh organ-organnya dari kepala sampai kaki.

Setelah mendapat pengarahan, kami dibagi atas beberapa kelompok dan masing-masing kelompok mendapatkan satu mayat. Aku dan kelompokku menghampiri mayat paling ujung, yang masih tertutup kain putih. Temanku segera menyibak kain tersebut sehingga terlihatlah tubuh yang bagian perutnya telah terbelah. Kulit-kulit dan ototnya telah dibuka sedemikian rupa sehingga terlihatlah pembuluh-pembuluh darah yang telah hitam.

Aku memperhatikan mayat itu dari ujung kakinya, terus naik, hingga sampai wajahnya. Tapi aneh, wajah ini rasanya tidak asing lagi. Seakan-akan aku mengenalnya. Terus kuperhatikan wajah itu, berpikir keras, benarkah aku pernah melihat wajah ini sebelumnya?

Seketika pikirku melintas kemasa lampau, ke masa dimana hujan lebat turun membasahi perumahan. Dimana bebauan busuk dari sebuah gerobak sampah memasuki ruang tamuku, menghambat beberapa aktivitas yang kerap kulakukan disana. Malam itu, seorang tukang sampah mengerahkan seluruh tenaganya memperbaiki gerobak tanpa satupun warga berinisiatif memberi bantuan. Hingga pagi menjelang, saat pelangi menggantung, beliau menyapaku, mendoakan agar cita-citaku tercapai dan berpesan, jangan sampai aku sombong padanya.

Aku terus memandang wajah itu. Kuingat lagi, betapa senagnya ketika aku bisa lulus di Fakultas Kedokteran dengan beasiswa penuh. Sedikitpun aku tidak ingat saat itu, akan siapa yang pernah mendoakanku. Bahkan aku tidak memikirkan, benarkah doa dan usahaku yang bukan apa-apa yang diijabah oleh Allah ataukah doa orang lain yang menghadapi hidupnya penuh keikhlasan.

Air mataku tiba-tiba menetes. Tubuhku tiba-tiba kaku, aku merunduk dalam, sementara teman-teman lain mulai sibuk mengamati letak-letak pembuluh darah dan mengacuhkan reaksiku. Sejenak aku tidak yakin ini adalah Mali. Setahuku di Indonesia, kalaupun ada mayat tanpa identitas akan dikuburkan dalam jangka waktu tujuh hari. Kecuali mayat orang yang sebelumnya mewasiatkan dirinya untuk dunia pendidikan atau keluarganya merelakan tubuh mayat tersebut diobrak-abrik.
Entahlah, aku tak habis pikir. Yang jelas, wajah di depanku ini seolah-olah sedang menyapaku dan menanyakan kabarku.
“Nadia, kenapa?” tanya Dila, sepertinya menangkap gelagat anehku.
Aku tersenyum dan menggeleng, lalu membual, “Ga tahan bau formalin,” dan kulangkahkan kakiku maju menuju Mali yang terlelap. Mulai kususuri pembuluh darahnya dengan hati-hati, karena begitulah harusnya orang yang selalu berjasa dan ikhlas sepanjang hidup bahkan matinya ini diperlakukan.

Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya kuat. Mali... lirihku. Tubuh itu kaku, tak menjawab, dan tak mungkin akan menjawab. Namun aku tahu, dari wajahnya yang kotor dan hitam, ia tersenyum tulus padaku, memaafkan karena aku lupa dan sombong padanya. Karena dihatinya selalu ada keikhlasan.
***

PROFIL PENULIS
Nama : Intan Ekaverta
Email : semangatmaroon@ymail.com
FB : https://www.facebook.com/verta.firebender

Mahasiswa tingkat 1 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

Diam

Karya Wika G Wulandari

“Selamat pagi anak-anak.” Laki-laki tua yang dibalut kemeja kotak-kotak itu menyapa kami yang tampak bodoh dengan seragam putih abu-abu. Senyum sumringah terlihat begitu menawan didepan papan tulis putih bisu.
“Kalian tahu kan? Hari ini kita kedatangan Mentri Pendidikan?” dia bertanya, masih dengan sumringahnya.

Kami tidak menjawab, hanya mengangguk. Hari itu, hanya kelas kami yang begitu dibedakan. Bagaimana tidak? Hari itu hari rabu dan kami seharusnya mengenakan pakaian batik bukannya seragam putih abu-abu yang baru kucuci kemarin. Kami juga dibedakan karena kami yang paling pintar. Pemikiran yang menyesatkan.
“Bapak harap kalian dapat memberikan kesan yang menyenangkan untuk menerima tamu kita nanti. Bila ada pertanyaan, kalian bisa mengajukan pada beliau.” Laki-laki itu menutup pembicaraan dengan senyumnya yang menawan.

DIAM
Ruang depan kelas itu kosong. Keheningan mulai merayap. Keadaan ini juga bagian dari skenario. Kami dituntut untuk tidak mengeluarkan suara bila tidak ada keperluan. Dan sekali lagi kami tampak sangat bodoh dengan wajah tegang yang dicampur kepolosan palsu.

Semua mata terarah padanya. Sepatunya yang mengkilap menginjak lantai keramik kelas kami dengan bunyi yang berirama. Baju yang dia kenakan terbuat dari katun berkualitas disemprot lima jenis parfum. Kami semakin tegang. Tatapannya ramah ketika dia mengedarkan pandangannya keseluruh sudut kelas. Sudut bibirnya sedikit terangkat ketika tatapan matanya menangkap sosok Winda. Dan bisa kulihat Winda semakin tegang ketika tatapan itu bertahan lama.
“Selamat pagi, wahai generasi muda Indonesia.” Dia menyapa kami dengan senyuman hangat seorang ayah. Aku terbuai, jujur.
“Apa kabar anak-anakku?” pandangannya sengaja dia tajamkan.

Kami diam. Tak ada yang menjawab dan keheningan itu menggantung selama lima detik. Hingga akhirnya Winda bersuara pelan.
“Kami baik-baik saja.” Katanya kaku. Sebenarnya itu bukan jawaban yang tepat karena tidak sesuai dengan isi skenario. Harusnya kami menjawab dengan senyuman yang lebar dan mengatakan bahwa kami sangat baik hari itu. Sepertinya kami menyadari bahwa bagian itu akan membuat kami lebih konyol lagi.
“Wah, itu jawaban yang sangat menyenangkan. Siapa namamu?”
“Winda.” Jawaban singkat juga tidak pernah ada dalam skenario hari itu.
Aku hanya diam memandangi percakapan mereka yang tampak kaku. Laki-laki paruh baya yang tengah duduk santai didepan kami begitu gembiranya melihat kami menjalani skenario menyedihkan ini.

Sekolah itu menyedihkan. Kami dipaksa untuk terus belajar dan belajar. Kadang kelas kami menjadi bahan olok-olokan bagi mereka yang merasa dikucilkan oleh guru-guru. Kami pintar bukan berarti kami harus dibandingkan dengan mereka yang ‘bodoh’. Bahkan kami punya kantin tersendiri dan makanan yang tersedia dikantin khusus itu sangatlah tidak menyenangkan. Kami ingin bebas dan mereka memberikan kebebasan itu. Namun bebas dalam presepsi guru-guru sangatlah berbeda dengan bebas dalam kutipan kami.

Kami diharuskan pulang dua jam lebih lama dari biasanya. Dan dua jam ekstra itu kami isi dengan les tambahan walaupun nilai kami bagus. Kebebasan itu mulai mengetat ketika kami naik tingkat, kelas XII. Bahkan setiap akhir minggu kami diwajibkan untuk tetap bersekolah. Hanya satu tujuan para guru, agar kami bisa saat ujian nasional nanti.

Haruskah ujian nasional diadakan dinegara Indonesia? Itu pertanyaan yang selalu kujadikan alasan untuk tetap diam saat guru-guru itu memperbudak kami.
“Anak-anakku sayang, jikalau kalian punya pertanyaan silahkan. Bapak akan menjawabnya sebisa Bapak. Jangan sungkan-sungkan.” Dia mulai membuka sesi pertanyaan. Dan sesi inilah yang kami tunggu-tunggu, namun aku lebih memilih diam.
“Pak, apakah ada kemajuan dalam mutu Pendidikan di Indonesia?” Iren bertanya. Itu bukan bagian dari skenario. Para guru yang tengah berdiri rapih dengan seketika menahan napas mereka. Ini akan jadi masalah besar, aku diam.

Kikuk, itu reaksi pertama yang Mentri Pendidikan lakukan.
“Tentu saja, anakku. Kami para pemerintah tengah berusaha semaksimal mungkin untuk menyamakan mutu pendidikan Indonesia dengan mutu pendidikan Australia dan Jerman. Jadi kalian harus belajar lebih giat lagi dan membantu pemerintah menaikkan mutu pendidikan Indonesia.” Para guru mendesah lega, setidaknya posisi kami masih dalam zona aman.
“Kalau begitu, kenapa Ujian Nasional masih tetap ada?” kali ini pertanyaan besar itu dilontarkan oleh Winda. Aku diam dan fokus. Ini bagian terpenting dari serangkaian skenario konyol yang guru-guru sediakan.
“Ujian Nasional itu fungsinya untuk menyaring anak-anak yang berbakat dan berprestasi. Ujian Nasional juga berguna untuk penyemangat bagi tiap-tiap daerah.” Laki-laki paruh bayah itu tersenyum.
“Bukannya kita ingin menyamakan kedudukan pendidikan dengan Australia?” winda masih kukuh.
“Ya, benar.”
“Australia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional, tapi mereka bisa melahirkan orang-orang penting. Kenapa kita tidak?” Winda berusaha sebisa mungkin untuk tetap terlihat tenang.

Para guru mulai meremas ujung kemeja masing-masing. Bahkan ada yang mengelap keringat. Ya, udara mulai memanas. Mentri Pendidikan tersungkur kaget diatas kursinya yang empuk, SKAK MAT!
“Winda sayang, menyamakan bukan berarti harus menjiplak kan?” itu jawaban terbodoh yang pernah kudengar dari seorang tokoh masyarakat, namun aku tetap diam.
“Kalau menjiplak untuk mutu masa depan para generasi, kenapa tidak? Sedangkan sekarang banyak yang menjiplak hanya untuk kesenangan belaka.” Ucap Winda dengan tatapan tajam.

Para guru mulai gelisah. Posisi kami tersungkur kedalam zona sangat berbahaya.
“Apa alasanmu ingin menghapuskan Ujian Nasional? Bukannya itu juga nanti akan membantumu mencapai cita-citamu nanti?” laki-laki itu balik bertanya.

Winda tersentak. Aku tahu, itu diluar skenario kami.
“Apa Bapak tidak lihat? Banyak anak yang frustasi akibat Ujian Nasional, bagaimana tidak setiap tahun nilai kelulusan bertambah 0.5 dan paket soal makin membumbung tinggi. Apa Bapak tidak pernah berpikir? Bagaimana jadinya masa depan anak-anak yang masih kecil diluar sana? Kami yang mendapatkan lima paket soal saja sudah frustasi, bagaimana dengan mereka yang akan mendapatkan 20 paket? Apa ini yang namanya melahirkan generasi mutu? Coba Bapak lihat, di Australia banyak sekali orang-orang penting yang terus bertambah dan mereka lahir bukan karena paksaan belajar tapi karena dukungan semua orang disekitar mereka, termasuk Negara mereka sendiri. Mereka mendapat perhatian dan pengertian dari pihak Negara. Negara mereka menghapuskan Ujian Nasional dan memberikan mereka fasilitas yang terbaik. Guru professional dan properti sekolah yang canggih. Walaupun mahal tapi mereka bahagia Pak. Mereka bahkan tidak mengenal yang namanya peringkat dan juara, karena mereka percaya setiap individu itu unik dan tidak layak untuk dibedakan.
“Bagaimana dengan kita? Apa guru kita sudah professional Pak? Apa properti kita sudah canggih? Banyak guru yang makan gaji buta dan itu luput dari pengamatan pemerintah. Banyak properti yang sangat ketinggalan zaman dan itu tak pernah mendapat kepedulian dari pemerintah. Hanya satu kriteria yang menyamakan pendidikan kita dengan pendidikan Austalia : mahal. Setiap tahun biaya pendidikan makin melonjak tinggi, waktu ditanya alasan pemerintah hanya satu: untuk menaikkan mutu pendidikan. Sudah setinggi mana mutu pendidikannya Pak? Setinggi pohon stroberi atau setinggi pohon tomat?”
Semua terlonjak kaget dengan kalimat terakhir dari Winda.

Dengan tenang Bapak Mentri itu menjawab, “Winda sayang. Negara kita ini Negara berkembang jadi butuh banyak biaya. Hutang Negara kita menumpuk dimana-mana. Kalau kita menurunkan harga pendidikan Negara kita akan jatuh miskin.”
“Butuh banyak biaya tapi kenapa pembangunan gedung DPR selalu mewah? Kenapa bukan gaji DPR saja yang diturunkan? 60 juta perbulan bukankah itu sangat berlebihan Pak? Coba bapak hitung jikalau satu anggota DPR saja diberi gaji 10 juta, pemerintah bisa untung 50 juta. Dan kenyataannya anggota DPR bukan hanya satu orang saja Pak. Dua orang saja pemerintah bisa untung 100 juta. 100 juta sudah cukup Pak untuk merenovasi satu sekolah. Jatuh miskin tapi melahirkan generasi bermutu internasional itu lebih baik daripada mencoba melangkah kearah Negara maju tapi yang dilahirkan adalah generasi ‘miskin’. Bapak pilih mana? Kalau pemerintah enggan mengambil resiko, bagaiman kita bisa menyamakan kedudukan kita Pak?”
“Winda, Jepang adalah Negara maju dengan teknologi yang super canggih, tapi mereka punya Ujian Nasional.” Jawaban yang sangat melesat dari pertanyaan.

Para guru mulai resah tak menentu. Sesekali mereka melirik arloji mewah yang membisu dipergelangan tangan yang hampir tiap hari mendapat perawatan mewah juga.
“Australia saja belum bisa kita samakan, kita mau ganti objek? Yang benar saja Pak.” Winda tertawa mengejek.
“Kesuksesan tidak dibangun dari sistem pendidikan, namun dibangun dari kepercayaan diri dan kerja keras.”
“Dan kenyataannya kepercayaan diri untuk lulus Ujian Nasional juga berpengaruh pada kesuksesan. Kerja keras? Kerja keras seperti apa yang Bapak maksud? Belajar setiap hari menjelang ujian dan terus berdoa agar Tuhan memberikan yang terbaik. Apa seperti itu? Pak semua kerja keras bisa dipatahkan dengan uang, itu salah satu sistem pendidikan Indonesia : sangat murahan. Bagaimanan dengan orang miskin yang kerja keras namun tetap tidak lulus karena tidak bisa membayar ‘jasa’ para guru?”
“Semua ada jalan keluarnya, Winda.” Hawa ruangan makin memanas. Kami semua mulai mundur kebelakang. Kami berdiri menghadap Bapak Mentri Pendidikan dengan tatapan tajam. Kami siap membela kebebasan kami.
“Dan jalan keluar itu selalu berujung buntu. Kami butuh pengertian dari pemerintah. Hapuskan Ujian Nasional dan berikan kami guru professional.” Teriak Winda secara lantang. Bulu kuduk ku merinding mendengar teriakannya. Aku diam melihatnya menangis. Aku diam melihat badannya terguncang karena emosi.
“Papa dan seluruh pemerintah gak pernah ngerti Winda. Papa gak ada bedanya dengan guru-guru. Papa gak pernah sekali pun bertanya apa maunya Winda, Winda ingin jadi apa dimasa depan? Gak pernah kan Pa? Satu yang selalu Papa pikir dalam kepala Papa, saat Winda tersenyum Papa kira Winda udah bahagia? Gak Pa. Winda gak butuh sekolah kalau hanya untuk frustasi.”

Papa? Panggilan itu yang Winda lontarkan untuk Bapak Mentri Pendidikan yang tengah terduduk lemas didepan kami. Haruskah aku tetap diam mendengarnya?
Ruangan itu seketika menegang. Tetesan keringat para guru mulai menderas. Tabir telah tersingkap. Mentri Pendidikan tampak tenang memandang anaknya yang masih tersedu-sedu.
Lima menit kemudian kutemukan tubuh Winda tersungkur dilantai dan kepalanya membentur keras ujung meja. Aku diam dan hanya mematung.

PROFIL PENULIS
Wika G Wulandari Lahir tanggal 02 Desember 1996. Tengah menempuh pendidikan tingkat SMA di SMA Sains Averos, kota Sorong. Suka berimajinasi dan berharap bisa memiliki dunia imajinasi sendiri. Terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara yang seluruhnya perempuan. 

Demi Sebuah Janji Dalam Perjalanan

Cerpen Karya Miftachur Rosyad

“Hujanitu berkah,Hujan itu anugerah,Hujan itu kehidupan….”(mr)
“Tidurlahjika kau yakin bahwa di atas bantal terdapat mimpi-mimpi tentang kemajuan,Tapijika tidak,bangkitlah … dan lakukan sesuatu “(adz-mr)
“ Nanti kujemput,di mana?di tempat biasasaja,itulah janjiku pada seseorang yang kukagumi,”Sore itu aku gelisahmenyaksikan langit di kota ini mulai berubah wajah,kecerahan warna lambat launtergeser oleh arak-arakan awan hitam dan terus menghitam pekat lagi menakutkan,akuyang sedari tadi menyaksikan fenomena alam tersentak teringat sebuah janjiuntuk menjemput gadis suci penyemangat nurani……ahhh ngaji saja dulu pikirku,bergegaskutenteng meja buatanku besrta kitab dan kudekap erat bak pecinta yang takingin berpisah dari kekasih hatinya,konsentrasi penuh mulai kusimak saat Sangmaha guru membacakan kata perkata dari kitab yang di kaji untuk kemudiankusalin dalam mushaf kitab cintaku dengan tarian pena made in china yang kubelibeberapa hari yang lalu,sesekali kulirik jam dinding di ujung mushola,hmmhsudah hampir jam4sore,perasaan resahgelisah mulai menyerang dan menggelayuti pikiranku namun pengajian tak kunjungusai,entahlah aku yang mulai tak sabaratau memang terlalu lama,ya…kuselesaikan saja mungkin tak lama lagi gumamkudalam keresahan,ternyata benar tepat jam 4 lewat 10 menit pengajianpunusai,Alhamdulillah kataku seraya tersenyum.


Cerpen Kehidupan - Demi Sebuah Janji Dalam Perjalanan
Tak butuh waktu lama kupreteli bajukoko,sarung dan kopyah putih kebanggaanku berganti dengan satu-satunya celanajeans coklat kubeli setahun lalumenjelang lebaran yang sedari tadi telah kupersiapkan dengan sentuhan setrikaselarasdengan itu kupakai jaket hasil barter dengan temanku yang warnanya sudahtak asli lagi mungkin luntur di makan usia segera kuambil tas hitamku yangkudapat dari hasil gaji menyebarkan kalender salah satu capres yang akanberlaga dipilpres 2014 depan tak lupa mengecek si merah berroda dua yang sedarikemarin belum dapat jatah minum bersubsidi dengan semngat 45 atau 46nyavalentine rossi atau rosyad kupacu si merah menerobos guyuran air yang sedaritadi berbaris rapi dari atas ke bawah melintasi jalanan yang penuh sesak olehhingar binger kendaraan mobil motor made jepang,cina atau yang trendi sekarangmade in korea yang di gemari kawula muda bahkan kekek nenek di bumi persadaIndonesia tercinta ahh…pikirku kacau,kembali konsentrasiku tertuju pada gadismanis berkacamata dengan senyum khasnya,tit…tit…tit…tit bunyi hape jadulmengagetkanku,kurogoh saku jaketku kubuka satu sms dari gadis itu,di sini hujangak usah jemput saja,perasaan kecewa mulai menerpaku lebih deras dari padahujan ini,namun aku terinagt slogan dari salah satu parpol yang warnanya miripdengan sepeda motorku,tekad bulat,itulah yang tidak memaksaku untuk mengeremdan berbalik arah pulang,kubalas smsnya ini aku sudah di jalan kataku dalam pesan singkatku ,ya sudahterserah kalau begitu, ia menjawab.

Segala puji bagi Tuhan semesta alamujarku,dan sampailah aku di tempat perjanjian ialah terminal arjosari yangmungkin kelak menjadi tempat bersejarah kami serta tempat berziarah cinta bagi kami sebagai satu bentukterimakasih yang tak terhingga jika kami di persatukan dalam mawaddah warahmahnamun bila tidak demikian biarlah terminal itu menjadi saksi bisu sejarah diamdalam keluluhanku, tak terasa keperkasaanku sebagai laki-laki hilang tak sadar mataku meneteskan air mata karenacampur aduknya perasaanku,tit…tit…tit…tit si tua berbunyi lagi mungkin ia telah tiba ,dengan cepat kubuka sms dankubaca dengan hati berbunga setaman tujuh rupa,ternyata gadis imut itu barusampai di fly over,pikiranku mencoba tenang namun perasaanku carut marut akubergumam pasti sebentar lagi gadis pujaanku datang karena jika di ukur denganspeedo meter motorku hanya butuh waktu seper sekian detik saja,tidak apa-apakataku menenangkan diriku sendiri yang sedari tadi risau,untungnya aku datangterlebih dulu jika tidak betapa tak teganya diriku melihatnya menunggu,karenaoleh seorang pelantun lagu terkenal di nusantara berkata “menunggu adalah sesuatu yang menyebalkan bagiku”tapi tidak buatku.

Terlalu asyik berdialektika dengan dirikusendiri tak kusadari ada satu pesan di hape mungilku,aku sudah sampai,kamu dimana ?,di pintu masuk bus,aku melihatnya dari kejauhan,sepertinya iamencari-cariku,segera kutampakkan diriku dari balik pos pantau bus akdp,kulihatia tersenyu padaku,lega rasanya yang di nanti ahirnya datang juga,inilah buktidari ketulusanku menunggunya dan salah besar yang di katakan penyanyi di atas,kamunyebrang atau aku kesitu? Kataku dalam pesan singkat,ia tidak membalas dansegera menyeberang jalan untuk berjalan ke arahku,hmmm kasihan dia kehujanan,Ehkirain angkotnya berhenti di fly over,candaku mencoba mencairkan suasana,yanggak lah gadis berkacamata itu meladeni pembicaraanku,gimana nih hujannyatambah deras saja,kita langsung berangkat atau menunggu agak redadikit?tanyaku,mmm nunggu biar agak reda dulu saja, ia menukas,kuteruskanpembicaraan,aku bawa mantel dua tapi yang satunya jelek karena terbuat darikresek,mau pake?,gak usah nanti malah ribet,oh ya sudah kalau gitu,di rumah adasiapa?,ada ibu dan adek,bapaknya kemana? 

Dengan pelan ia menjawab bapak nggakada,kemana?,ya sudah nggak ada.dan betapa menyesalnya kenapa pertanyaan yangmungkin membuatnya sedih terlontar dari mulutku.segera kualihkan pembicaraantentang kuliahnya,jadi ikut study tour?,insyaallah jadi,berapa hari?,tigahari.Perasaan resah kembali membayangiku berarti dalam waktu tiga hari bisajadi lebih aku tak lagi melihat parasnya,aku diam sejenak dan bertanya beberapahal,dalam benakku alangkah romantisnya kalau ngobrol sambil minum jus apel atausegelas kopi walau di warung amat sangat sederhana tapi apa daya uangku hanyapas-pasan buat menafkahi si merah yang kehausan lebih tragis lagi untuk membelisebatang rokokpun taka da,entah ada angin apa gadis cantik berjilbab anggun disampingku bertutur ,sebentar lagi aku magang 4bulan,di mana?,belum tau,sambilsedikit sok tau aku berkata mungkin di batam atau di bandung.

Bagai di tusuk sembilu sebenarnya hatiku kaliini benar-benar bersedih dalam sedalam-dalamnya,banyak yang ku tafsirkan,meskiaku tau ia tak bermaksud melukaiku,aku mengira waktu selama itu semuanya akanberubah,ia akan pergi meninggalkanku,ia tak lagi mengingatku,lebih ekstrim lagiia akan mendapatkan hati yang lain yang lebih dari aku lebih gagah karena akukerempeng,lebih kaya karena aku belum kaya,bermobil mewah yang memang layak dinaiki oleh gadis secantik dia sedangkan yang ku punya baru si merah bekaspemberian dari keringat orang tua yang berjualan terompet tahun baru di tanahpapua,karena memang ku akui ku tak punya banyak kelebihan kecuali ber imajinasi,semoga saja ia tidak tau isi hatiku,untung saja sore ini hujan ia tak cukuptau kalau aku kembali meneteskan air mata karena perasaan cintaku semakinbersemi padanya.

Ayo berangkat…kupecahkan suasana segera iamengambil posisi di belakangku,dengan sigap si merah menuruti perintahku tancapgas lets go…betapa terlihat dungu dan bodohnya aku kenapa aku mestimenangis,apa yang ku tangisi,Langit tak henti menangis sementara kuterobosbarisan-barisan hujan yang coba menghalangi lajuku,mungkin ini tak bisa terlupasepanjang episode hidupku.Kok diam?,mmh suara gadis jelita di belakangkumenyadarkanku dari lamunanku yang mengharu biru,belum sempat ku menjawab iakembali bertanya,Katanya kalau ketemu mau bicara banyak?,iya wi jawabku,ya dewinama gadis di belakangku tapi bukan dewi yang sering muncul di panggung atau ditivi tapi ini dewiku yang kuharap menjadi pendamping hidupku kelak.iyasebenarnya banyak hal yang ingin kukatakan dengan indah tapi untuk masalah yangsatu ini berat,ya kalau berat jangan di katakana,mmm baiklah akan kukatakan,lhokatanya berat nggak usah saja,sekarang udah nggak berat kok…mungkin ia telahmengerti bahasa jiwaku segera ia menjawab,aku masih ragu,aku masih bimbang,fifti-fifti jika kukatakan iya takut kecewa entahlah akubingung,kecewa itu kan manusiawi tapi jangan larut dalam kekecewan,ujarkumeyakinkannya,terus bagaimana langkah kedepannya?,tanpa pikir panjang kujawabGet married,haaah dengan histeris ia menjawab aku belum mau menikah aku masihpengen bersenang-senang,bermain-main.aku kembali diam,ia menruskan perkataannya, kamu kan sudah berumur sudah waktunya sementara aku masih kecil,usia kita kancuma selisih lima tahun wi,dan kami sama-sama diam,tanpa tau apa yang sedangkami pikirkan masing-masing.

Waktu kian mewaktu adzan maghribpunberkumandang.Belok arah mana?kanan,ya sudah lurus saja,guyuran hujan tiadahenti kembali aku teringat pada perkataannya tadi ialah” 4 bulan” ya tentubukan waktu yang sedikit,seakan aku ingin terjun bebas kedasar jurang untukmemusnahkan mimpi-mimpi indahku tuk dapat bersamanya dan terlahir kembalimenjadi Jivan mukti seperti yang di katakan oleh filsuf madzhab kepanjen dalam bukunyaFilsafat Timur .Tapi di sisi lain aku ini orang ber agama yang sedari kecil diajarkan tentang iman yang berarti yakin,meski aku tak mampu berbuat banyakuntuk itu namun aku punya Tuhan yang selalu memberi asal aku mau dekatdengan-NYA,
Bahkan aku disuruh mengajukan proposal-proposal sebanyak-banyaknya untuk kemudian dikabulkannya dan kuyakini itu.
Kulihat dari kaca spion gadis di belakangkusepertinya kehujanan,Kamu kehujanan?,Nggak aku bersembunyi di belakang mu.

Akubisa sedikit tersenyum mendengar kata-katanya yang seolah memanja.Sudah hampirsampai tepatnya fly over mergosono,dalam benakku lebih baik aku lewatatas,seolah mendukungku si merah melaju dengan kelincahannya mendaki jalantinggi itu,tiba-tiba gadis di belakangku berteriak,Lho kok lewat atas,ngg akboleh ! , memang dalam peraturan Lantas tidak di perkenankan roda dua naik flyover,ku jawab dengan santai ya kalau di tangkap bilang saja lagi nyidam…padahaldalam hatiku berkata sengaja aku lewat jalan tinggi inihendak memberipengertian padanya bahwa gambaran cita-cinta luhurku untuk bersamanya yangteramat sangat tinggi melebihi fly over mergosono yang kita lewati ini , Tak lama kemudian kamipun sampai dipersimpangan jalan.

Turun di sini saja kang begitulah ia berkata,sementara hujanmasih membasahi persada haru rasanya melihatnya berjalan sendirian di kegelapanmalam yang mulai meninggi,kusodorkan mantel yang kupakai namun ia menolakdengan bahasa halus sehalus kulitnya bak putri keraton,dengan terpaksa kuberiia mantel kresek khas tukang becak di pinggir masjid jami’,entah kenapa ialebih memilih mantel jelek itu,mungkin karena kasihan kepadaku atau menyamakanjeleknya mantel kresek dengan jeleknya rupaku yang khas ndeso.Hahaha akupunbisa tertawa tapi hanya dalam hati ke-empatku , perlahan ia mulai berjalanmeninggalkanku sebab itulah yang berlaku karena aku tak mungkin mengantarnyapada tempat yang di tuju.Segera kuputar arah kembali melaju dengan si merahroda dua menuju tempat lain guna menenangkan pikiranku pada 4-bulan tak lupaaku sms dia hati-hati ya… beberapa saat ia menjawab,ini baru sampai dan terimakasih.
Sebuah perjalanan tiada pernah berahir sampaibertemu pada muara,memang banyak rintangan yang harus di laluikubangan,tanjakan,tikungan,terjal,curam yang membingungkan ketika padapersimpangan jalan,memilih mana yang mesti di lewati.Selayaknya melibatkanTuhan dalam urusan ini,Tuhan tunjukkanlah jalan yang lurus,jalan orang-orangyang Engkau beri nikmat,bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai bukan pulajalan mereka yang sesat.

PROFIL PENULIS
Miftachur Rosyad
Nyantri didarussalam kota malang asline sih L.A (baca: Lamongan Asli) fb Est Rosyad

Wednesday, November 6, 2013

Kain Kehormatan

Rupamu sungguh memanjakan
Setia pada kearifan dan kesahajaan
Meliuk-liuk goresanmu oleh tangan malikat
Yang ikhlas bersama detakan samudra

Hati berbunga dalam balutanmu
Bagaikan raja Matram bersamamu
Karna kaulah kain kehormatan kami
Tak ternilai nestapa perih, dengan air terjun keringat ini

Dan negeri para pemulung 
Memboyongmu temani
Mencabik hati suci pertiwi
Ruhi pagi yang memancar kelabu

Tapi tak kan melangkah pergi
Menghapus waktu yang terjalani
Bersama jiwa raga pertiwi
Bahkan pagi, siang dan sore menyeru pertiwi
Untuk hapuskan hitam malam yang kau pecahkan sepi

Tak rela hati
Tak rela jiwa
Tak rela tanah, mentari, dan pelangi, berkata:
Lestari Batikku
Kan kujaga hingga terpatri kuat di jiwa