Sunday, November 10, 2013

Doa Mali

Karya Intan Ekaverta

Langit sore tampak mendung. Awan-awan yang menggumpal gelap berjalan pelan diantara angin. Pepohonan pun tak hendak kalah, biar tak kuasa berpindah namun dedaunannya melambai terjang, seolah sekuat tenaga mengejar jalannya awan. Burung-burubg yang biasanya kerap menghiasi cerah langit sore pun kini tak satupun tampak, entah kemana bersembunyi.

Tik... kurasakan ada yang menetes dipipiku. Aku menengadah, tampaknya gumpalan awan mulai tak sanggup menahan beban. Walau hanya setetes yang jatuh, kupercepat langkahku memasuki salah satu gang di perumahan. Jangan sampai tetes-tetes lain yang akan menyusul membasahi jilbab putih dan seragam putih abu-abuku yang harus kembali dipakai esok hari.

Semakin mendekati rumah, semakin ramai tetes-tetes hujan turun ke bumi. Dua rumah lagi adalah rumahku, sedikit lagi, sabarlah hujan. Aku bergegas. Namun hidungku bergidik seketika. Ada bebauan yang mampir, menggelitik tiap dinding hidung dan trakeaku. Saat itu pula mataku menangkap seorang pria dengan topi cowboy, celana sebetis, dan baju kaos orange yang khas. Aku mengerinyitkan dahi, orang itu, kenapa sore-sore ada di depan rumahku? Bukankah biasanya dia bekerja dipagi hari dan selesai sebelum matahari menjilat sedap di siang bolong.

Doa Mali
Benar saja aku mengenalnya. Ia adalah salah satu orang eksis di perumahan ini. Bagaimana tidak, setiap hari dengan gerobak usangnya ia mengangkut sampah dari rumah-rumah untuk dibawa ke ujung jalan besar yang kemudian akan diangkut truk sampah. Konon kata para tetua disini, profesi ini telah digandrunginya sejak usianya masih belasan tahun, itulah sebabnya warga terbiasa memanggilnya tanpa sebutan Bapak walau sekarang ia bukan lagi seorang remaja. Tantunya dari wajah kotor dan hitamnya dapat diprediksi bahwa ia kini sudah kepala empat.

Ya, dia Mali. Mali, dengan nama itulah orang-orang perumahan mengenalnya.
Dengan menahan bebauan, kumasuki rumah tanpa sedikitpun terinspirasi untuk berbasa-basi menyapa Mali. Sementara itu hidungku yang bertanya-tanya tentang bebauan mendapatkan jawabnya. Bau itu berasal dari gerobak Mali yang tepat terparkir di depan pagar sepinggang di depan rumahku yang jauhnya hanya semeter dari pintu utama.
Hujan mulai turun. Awalnya hanya gerimis, lalu perlahan semakin deras, dan semakin deras.
***

Petir berseling-seling menyambar sementara angin bertiup semakin dingin. Rintik hujan diluar mulai lebat, mendendang di genting rumahku. Aku baru saja selesai mandi dan berganti pakaian ketika kulihat di meja makan ibu sedang menuangkan mie instan yang telah matang ke piring. Ini dia momen yang paling kutunggu setiap hujan lebat tiba. Sudah jadi kebiasaan aku dan ibu menikmati mi kuah hangat sembari membuka pintu ruang tamu lebar-lebar dan memandangi hujan sore diselanya. Terkadang menyakitkan juga mengingat hal-hal seperti ini hanya dapat kulakukan berdua dengan ibu. Namun apa boleh dikata, ayah telah dipanggil sejak dua tahun lalu.
Dengan semangat, kuambil baki dan kuletakkan dua piring mie di atasnya. Lalu kulangkahkan kakiku riang ke ruang tamu. Sementara ibu membawa dua gelas susu hangat ditangan kiri dan kanannya mengikuti langkahku ke ruang tamu.

Tapi, sesuatu menghentikan langkahku begitu membuka tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang belakang rumah mungilku. Hidungku kembali mendapat sinyal buruk, seketika aku teringat akan Mali, mungkinkah ia dan gerobak sampahnya yang bau masih bertandang di depan rumahku? Kuletakkan baki di atas boofet dan kubuka tirai sambil mengintip keluar. Dan benar, Mali masih disana, dengan sekuat tenaga menahan gerobak sampah dipinggul kanan yang dimiringkan sementara tangannya memutar-mutar roda gerobak yang rusak

Aku memelas, ternyata gerobak Mali rusak dan sepertinya ia butuh waktu lama untuk memperbaiki gerobaknya. Sementara itu, baunya akan tetap masuk ke ruang tamuku yang artinya, aku dan ibu tidak bisa menikmati mie bersamaan dengan menikmati hujan. Ibu hanya tersenyum seakan-akan menyurhku bersabar dan menyuruhku membawa baki kembali ke meja makan di belakang. Kami tetap menghabiskannya dengan ceria.
***

Azan maghrib berkumandang. Biasanya aku dan ibu akan berangkat ke mesjid yang tidak jauh dari rumah. Tapi hujan turun mulai lebat sehingga kami putuskan untuk sholat berjamaah di rumah saja. Seusai sholat, aku membaca satu halaman ayat suci al-Qur’an. Setelah itu kuambil buku-bukuku dan membawanya ke ruang tamu. Ya, disanalah aku terbiasa menyelesaikan tugas-tugas sekolahku karena cahaya lampu di ruang tamu adalah yang paling terang di rumah mungil ini. Dan yang menjadi favoritku adalah sofa dan meja tamu, membuatku merasa lebih santai saat belajar.

Namun, lagi-lagi, begitu aku melangkah ke ruang tamu, lagi-lagi pula hidungku mendapatkan sinyal buruk. Pasti Mali. Aku beringsut kesal, menghentak ke belakang dan mengadukannya pada ibu. Ibu segera memasang jilbabnya dan membuka pintu depan, memeriksa mengapa Mali tak jua beranjak dari depan rumah. Aku mengikuti ibu dan mengintai dari pintu. Dalam hati, berharap ibu mengusir Mali pergi dari depan rumah kami. Tapi tak mungkin ibu melakukan hal semacam itu. Toh buktinya ibu masih saja berbicara dengan lantunan suaranya yang lembut saat bertanya pada Mali.
“Ini Bu, jari-jari rodanya hancur, maklum sudah lama. Tadi Pak RT sudah belikan yang baru tapi roda yang lama keras sekali, ngga bisa lepas. Jdi belum bisa diganti.” Jawab Mali nyengir.
“Lepasnya jangan pakai tangan aja. Pakai obeng atau apa gitu.” Saran ibu.
“Udah dicoba Bu, tapi ngga mutar. Karatan soalnya.”
“Ngga dibawa ke bengkel aja?”
“Berat loh Bu. Lagian tadi pas magrib saya periksa bengkelnya sudah tutup.”
Ibu cukup lama bercakap-cakap dengan Mali hingga akhirnya ibu masuk rumah dan menyarankan kepadaku untuk belajar di kamar. Dengan sedikit kecewa aku memasuki kamar dan menggunakan meja belajar yang sebelumnya nyaris tak pernah kugunakan selain untuk meletakkan barang-barang. Dalam hati aku menggerutu, mengapa Mali harus memperbaiki roda gerobaknya di depan rumahku. Sementara itu, hujan semakin deras dan semakin deras.
***

“Nadia, bangun, Nak. Sebentar lagi subuh.” Kurasakan ibu membelai kepalaku lembut. Aku berusaha bangun walau kurasakan mataku begitu berat.
“Udah mau ke mesjid, Bu?” tanyaku sambil mengucek mata.
“Masih hujan, Nak. Kita solat subuh jamaah di rumah aja deh sepertinya.” Jawab ibu.
Kupasang kuat telingaku, memang, masih terdengar suara hujan menggelitik atap rumah walau tak sederas tadi malam. Lama sekali hujan mengguyur bumi. Tapi, itulah rahmat yang diturunkan Allah yang patut disyukuri.

Azan subuh berkumandang, aku dan ibu segera sholat berjamaah. Entah mengapa, setelah salam kedua, aku tiba-tiba teringat Mali. Belum lagi lepas mukenahku seusai sholat, aku beranjak ke ruang tamu, hidungku lagi-lagi mendapatkan sinyal. Kubuka sedikit tirai, dan kulihat ke luar. Rintik hujan masih turun dan gerobak Mali masih disana. Kukerinyitkan dahiku sekuat-kuatnya. Sadarkah Mali bahwa bebauan dari gerobak sampahnya itu bau? Atau hidungnya sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang bau dan mana yang wangi.

Ibu tiba-tiba datang, menepuk bahuku dan ikut mengintip keluar. Namun, benar-benar aneh, bukan umpatan yang keluar dari mulut ibu, sebagaimana yang kuucap berkali-kali dalam hatiku akan tukang sampah itu. Melainkan, “Subhanallah...”
Aku menganga heran, “Kenapa, Bu?”
Ibu mengangkat telunjuknya, menunjuk ke satu arah yang berlawanan dengan letak gerobak Mali. Aku mengikuti arahnya dan dengan mata kepalaku kulihat Mali sedang bersujud khusyu menghadapkan dirinya ke arah kiblat di aspal yang basah, dibawah deras hujan yang turun semalaman.

Hatiku seketika mengerucut. Ada hal yang tiba-tiba mengganjal kuat, membekaskan perasaan sesal, salut, dan simpati. Pantaskah semalam aku kesal pada Mali karena bebauan yang ditimbulkan gerobaknya? Bukan salahnya jika gerobak itu sudah reot, toh dia tidak mungkin punya uang untuk membeli yang baru. Lagipula, sebenarnya gerobak itu bukan hanya menjadi tanggung jawab Mali seorang, tapi tanggung jawab semua warga yang sampah di rumahnya dibantu dibuangkan oleh Mali. Namun selama ini, hanya Pak RT yang rutin memperhatikan keadaan Mali. Warga lain tampak acuh, hanya menikmati keringat Mali tanpa mau tahu apa saja yang dialaminya.

Aku terus memandang Mali, memandang gerakan-gerakan sholatnya yang tenang. Tangannya mulai ditengadahkan ke atas, begitu juga kepalanya tampak memandang gemuruh langit. Setelah itu ia beranjak dan kembali ke gerobaknya. Tampaknya roda lama telah berhasil dilepaskan dan ia mulai memasang roda baru. Pastilah perjuangannya semalaman begitu berat, menahan dingin dan hujan sementara ia harus mengerahkan seluruh energinya.
***

Seragamku talah terpakai rapi. Perutku pun telah hangat oleh segelas susu. Aku mengambil sepatu, memakainya dan melangkah keluar. Hujan telah reda, mentari pagi pun bersinar cerah. Di ujung langit tampak pelangi menggantung indah.
“Pergi sekolah, Neng?” suara parau terdengar menyapa.
Aku menoleh, melihat Mali tersenyum padaku. Seketika aku balas senyum dan menjawab, “Iya.”
Tampaknya Mali telah sukses mengganti roda gerobaknya.
“Kelas berapa, Neng? “ tanya Mali lagi.
“Masih kelas satu SMA.” Jawabku.
“Wah, beruntung Neng bisa sekolah. Rajin-rajin belajar, atuh. Kalau boleh tahu cita-citanya apa Neng?”
Aku sedikit risih, namun mengingat kejadian subuh tadi aku tetap menjawab dengan ramah, “Pengen jadi dokter, sih.” Dalam hati kutambahkan, kalau nantinya ibu punya uang cukup.
“Wah, bagus itu, Neng. Saya doakan cita-citanya tercapai ya, Neng. Kalau jadi mahasiswa kedokteran nanti jangan sombong sama saya.”
Aku tertawa kecil, dibuat-buat, sekedar basa basi, dan segera pamit pergi sebelum Mali menemukan pertanyaan baru yang dapat menahanku melangkah ke sekolah.
***

Itu terakhir kalinya. Ya, terakhir kalinya aku melihat Mali. Sejak pagi itu, Mali tidak pernah kembali untuk membereskan sampah lagi. Beberapa hari sampah di depan tiap pagar rumah menumpuk, menyebar bau tak sedap di sela-sela peruamahan. Warga hanya dapat mengumpat, menggunjing, atau ada juga yang berinisiatif melapor pada Pak RT. Sementara Mali tak kunjung tiba.
Entah kemana ia, sementara satupun warga tidak ada yang tahu tempat tinggalnya dimana. Hingga setelah dua minggu berlalu, Mali digantikan oleh orang lain. Tukang sampah yang baru, seorang wanita yang selalu mengumpat tiap bekerja.
***

Aku kembali membolak-balik buku Sobotta yang kupinjam dari perpustakaan sebelum memasuki ruang anatomi, tempat kadaver-kadaver terlelap menantikan siapa saja yang hendak mempelajari tubuhnya. Jas putih panjang untuk memasuki laboratorium berlambangkan Fakultas Kedokteran telah terpasang rapi ditubuhku.
“Nadia, ayo masuk.” Ajak Dila, teman sejawatku.
Aku berdiri, memasukkan Sobotta ke dalam tas dan kuraih handscone dari kantong jas laboratorium, lalu kulangkahkan kakiku memasuki ruang anatomi. Bau formalin seketika menyergap masuk ke hidungku. Ini yang kedua kalinya aku memasuki ruangan ini, setelah minggu lalu mengamati jantung yang telah dipisahkan dari tubuh empunyanya, entah milih siapa. Kali ini kami akan mempelajari susunan pembuluh darah. Karena itu, perlu mayat yang masih utuh organ-organnya dari kepala sampai kaki.

Setelah mendapat pengarahan, kami dibagi atas beberapa kelompok dan masing-masing kelompok mendapatkan satu mayat. Aku dan kelompokku menghampiri mayat paling ujung, yang masih tertutup kain putih. Temanku segera menyibak kain tersebut sehingga terlihatlah tubuh yang bagian perutnya telah terbelah. Kulit-kulit dan ototnya telah dibuka sedemikian rupa sehingga terlihatlah pembuluh-pembuluh darah yang telah hitam.

Aku memperhatikan mayat itu dari ujung kakinya, terus naik, hingga sampai wajahnya. Tapi aneh, wajah ini rasanya tidak asing lagi. Seakan-akan aku mengenalnya. Terus kuperhatikan wajah itu, berpikir keras, benarkah aku pernah melihat wajah ini sebelumnya?

Seketika pikirku melintas kemasa lampau, ke masa dimana hujan lebat turun membasahi perumahan. Dimana bebauan busuk dari sebuah gerobak sampah memasuki ruang tamuku, menghambat beberapa aktivitas yang kerap kulakukan disana. Malam itu, seorang tukang sampah mengerahkan seluruh tenaganya memperbaiki gerobak tanpa satupun warga berinisiatif memberi bantuan. Hingga pagi menjelang, saat pelangi menggantung, beliau menyapaku, mendoakan agar cita-citaku tercapai dan berpesan, jangan sampai aku sombong padanya.

Aku terus memandang wajah itu. Kuingat lagi, betapa senagnya ketika aku bisa lulus di Fakultas Kedokteran dengan beasiswa penuh. Sedikitpun aku tidak ingat saat itu, akan siapa yang pernah mendoakanku. Bahkan aku tidak memikirkan, benarkah doa dan usahaku yang bukan apa-apa yang diijabah oleh Allah ataukah doa orang lain yang menghadapi hidupnya penuh keikhlasan.

Air mataku tiba-tiba menetes. Tubuhku tiba-tiba kaku, aku merunduk dalam, sementara teman-teman lain mulai sibuk mengamati letak-letak pembuluh darah dan mengacuhkan reaksiku. Sejenak aku tidak yakin ini adalah Mali. Setahuku di Indonesia, kalaupun ada mayat tanpa identitas akan dikuburkan dalam jangka waktu tujuh hari. Kecuali mayat orang yang sebelumnya mewasiatkan dirinya untuk dunia pendidikan atau keluarganya merelakan tubuh mayat tersebut diobrak-abrik.
Entahlah, aku tak habis pikir. Yang jelas, wajah di depanku ini seolah-olah sedang menyapaku dan menanyakan kabarku.
“Nadia, kenapa?” tanya Dila, sepertinya menangkap gelagat anehku.
Aku tersenyum dan menggeleng, lalu membual, “Ga tahan bau formalin,” dan kulangkahkan kakiku maju menuju Mali yang terlelap. Mulai kususuri pembuluh darahnya dengan hati-hati, karena begitulah harusnya orang yang selalu berjasa dan ikhlas sepanjang hidup bahkan matinya ini diperlakukan.

Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya kuat. Mali... lirihku. Tubuh itu kaku, tak menjawab, dan tak mungkin akan menjawab. Namun aku tahu, dari wajahnya yang kotor dan hitam, ia tersenyum tulus padaku, memaafkan karena aku lupa dan sombong padanya. Karena dihatinya selalu ada keikhlasan.
***

PROFIL PENULIS
Nama : Intan Ekaverta
Email : semangatmaroon@ymail.com
FB : https://www.facebook.com/verta.firebender

Mahasiswa tingkat 1 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

0 comments:

Post a Comment